Sejarah masuknya Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah benar
Jumat, 21 Agustus 2009 | 06:20 WIB
JAYAPURA, KOMPAS.com–Sejarah
masuknya Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sudah benar sehingga tidak perlu dipertanyakan dan
diutak-atik lagi.
Hal tersebut diungkapkan Tokoh Pejuang Papua, Ramses Ohee di
Jayapura, Kamis menanggapi sejumlah kalangan yang masih mempersoalkan
sejarah masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia yang telah ditetapkan
melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 silam.
Ramses menegaskan, ada pihak-pihak yang sengaja membelokkan sejarah Papua untuk memelihara konflik di Tanah Papua.
“Sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI sudah benar, hanya saja
dibelokkan sejumlah warga tertentu yang kebanyakan generasi muda,”
ujarnya.
Lebih lanjut dijelaskannya, fakta sejarah menunjukkan keinginan
rakyat Papua bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak pelaksanaan
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
“Sayangnya, masih ada yang beranggapan bahwa Sumpah Pemuda
tidak dihadiri pemuda Papua. Ini keliru, karena justru sebaliknya, para
pemuda Papua hadir dan berikrar bersama pemuda dari daerah lainnya. Ayah
saya, Poreu Ohee adalah salah satu pemuda Papua yang hadir pada saat
itu,” ujar Ramses.
Adapun mengenai pihak-pihak yang memutarbalikkan sejarah dan
masih menyangkal kenyataan integrasi Papua ke dalam NKRI, Ramses tidak
menyalahkan mereka karena minimnya pemahaman atas hal tersebut.
Menurutnya, hal yang perlu disadari adalah bahwa keberadaan
negara merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga seharusnya
disyukuri dengan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan di
Papua.
Berdasarkan catatan sejarah, pada 1 Oktober 1962 pemerintah
Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah ini kepada Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority
(UNTEA) hingga 1 Mei 1963. Setelah tanggal tersebut, bendera Belanda
diturunkan dan diganti bendera Merah Putih dan bendera PBB.
Selanjutnya, PBB merancang suatu kesepakatan yang dikenal
dengan “New York Agreement” untuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat Irian Barat melakukan jajak pendapat melalui Pepera pada 1969
yang diwakili 175 orang sebagai utusan dari delapan kabupaten pada masa
itu.
Hasil Pepera menunjukkan rakyat Irian Barat setuju untuk bersatu dengan pemerintah Indonesia.